Selasa, 29 Mei 2012

Bila diri sempit hati

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh...

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kepada kita hati yang lapang, yang jernih, karena ternyata berat sekali menghadapi hidup dengan hati yang sempit.

Hati yang lapang dapat diibaratkan sebuah lapangan yang luas membentang, walaupun ada anjing, ada ular, ada kalajengking, dan ada aneka binatang buas lainnya, pastilah lapangan akan tetap luas. Aneka binatang buas yang ada malah makin nampak kecil dibandingkan dengan luasnya lapangan. Sebaliknya, hati yang sempit dapat diibaratkan ketika kita berada di sebuah kamar mandi yang sempit, baru berdua dengan tikus saja, pasti jadi masalah. Belum lagi jika dimasukkan anjing, singa, atau harimau yang sedang lapar, pastilah akan lebih bermasalah lagi.

Entah mengapa kita sering terjebak dalam pikiran yang membuat hari-hari kita menjadi hari-hari yang tidak nyaman, yang membuat pikiran kita menjadi keruh, penuh rencana-rencana buruk. Waktu demi waktu yang dilalui sering kali diwarnai kondisi hati yang mendidih, bergolak, penuh ketidaksukaan, terkadang kebencian, bahkan lagi dendam kesumat. Capek rasanya. Menjelang tidur, otak berpikir keras menyusun rencana bagaimana memuntahkan kebencian dan kedendaman yang ada di lubuk hatinya agar habis tandas terpuaskan kepada yang dibencinya. Hari-harinya adalah hari uring-uringan makan tak enak, tidur tak nyenyak dikarenakan seluruh konsentrasi dan energinya difokuskan untuk memuaskan rasa bencinya ini.

Ah, sahabat. Sungguh alangkah menderitanya orang-orang yang disiksa oleh kesempitan hati. Dia akan mudah sekali tersinggung, dan kalau sudah tersinggung seakan-akan tidak termaafkan, kecuali sudah terpuaskan dengan melihat orang yang menyinggungnya menderita, sengsara, atau tidak berdaya.

Ingatlah bahwa hidup kita di dunia ini hanya satu kali, sebentar dan belum tentu panjang umur, amat rugi jikalau kita tidak bisa menjaga suasana hati ini. Camkanlah bahwa kekayaan yang paling mahal dalam mengarungi kehidupan ini adalah suasana hati kita ini. Walaupun rumah kita sempit, tapi kalau hati kita 'blaang' lapang akan terasa luas. Walaupun tubuh kita sakit, tapi kalau hati kita ceria, sehat, akan terasa enak.

Walaupun badan kita lemes, tapi kalau hati kita tegar, akan terasa mantap. Walaupun mobil kita merek murahan, motor kita modelnya sederhana, tapi kalau hati kita indah, akan tetap terhormat. Walaupun kulit kita kehitam-hitaman, tapi kalau batinnya jelita, akan tetap mulia. Sebaliknya, apa artinya rumah yang lapang kalau hatinya sempit?! Apa artinya Fried Chicken, Burger, Hoka-hoka Bento, dan segala makanan enak lainnya, kalau hati sedang membara?! Apa artinya raungan ber-AC kalau hati mendidih?! Apa artinya mobil BMW, kalau hatinya bangsat?!

Lalu, bagaimana cara kita mengatasi perasaan-perasaan seperti ini? Yang pertama harus kita kondisikan dalam hati ini adalah kita harus sangat siap untuk terkecewakan, karena hidup ini tidak akan selamanya sesuai dengan keinginan kita. Artinya, kita harus siap oleh situasi dan kondisi apapun, tidak boleh kita hanya siap dengan situasi yang enak saja. Kita harus sangat siap dengan situasi dan kondisi sesulit, sepahit dan setidak enak apapun. Seperti pepatah mengatakan, 'sedia payung sebelum hujan'. Artinya, hujan atau tidak hujan kita siap.

Hal kedua yang harus kita lakukan kalau toh ada orang yang mengecewakan kita, adalah dengan jangan terlalu ambil pusing, sebab kita akan jadi rugi oleh pikiran kita sendiri. Sudah lupakan saja. Yang membagikan rizki adalah Allah, yang mengangkat derajat adalah Allah, yang menghinakan juga Allah. Apa perlunya kita pusing dengan omongan orang, sampai 'doer' itu bibir menghina kita, sungguh tidak akan kurang permberian Allah kepada kita. Mati-matian ia menghina, yakinlah kita tidak akan hina dengan penghinaan orang. Kita itu hina karena kelakuan hina kita sendiri.

Nabi SAW, dihina, tapi toh tetap cemerlang bagai intan mutiara. Sedangkan yang menghinanya, Abu Jahal sengsara. Salman Rushdie ngumpet tidak bisa kemana-mana, Permadi, Arswendo Atmowiloto masuk penjara. Siapa yang menabur angin akan menuai badai. Dikisahkan ketika Nabi Isa as dihina, ia tetap senyum, tenang, dan mantap, tidak sedikitpun ia menjawab atau membalas dengan kata-kata kotor mengiris tajam seperti yang diucapkan si penghinanya. Ketika ditanya oleh sahabat-sahabatnya, "Ya Rabi (Guru), kenapa engkau tidak menjawab dengan kata-kata yang sama ketika engkau dihina, malah Baginda menjawab dengan kebaikan?"

Nabi Isa as, menjawab : "Karena setiap orang akan menafkahkan apa yang dimilikinya. Kalau kita memiliki keburukan, maka yang kita nafkahkan adalah keburukan, kalau yang kita miliki kemuliaan, maka yang kita nafkahkan juga kata-kata yang mulia." Sungguh, seseorang itu akan menafkahkan apa-apa yang dimilikinya. Ketika Ahnaf bin Qais dimaki-maki seseorang menjelang masuk ke kampungnya,

"Hai kamu bodoh, gila, kurang ajar!", Ahnaf bin Qais malah menjawab, "Sudah? Masih ada yang lain yang akan disampaikan? Sebentar lagi saya masuk ke kampung Saya, kalau nanti di dengar oleh orang-orang sekampung, mungkin nanti mereka akan dan mengeroyokmu. Ayo, kalau masih ada yang disampaikan, sampaikanlah sekarang !". Dikisahkan pula di zaman sahabat, ada seseorang yang marah-marah kepada seorang sahabat nabi,

 "Silahkan kalau kamu ngomong lima patah kata, saya akan jawab dengan 10 patah kata. Kamu ngomong satu kalimat, saya akan ngomong sepuluh kalimat".

Lalu dijawab dengan mantap oleh sahabat ini, "Kalau engkau ngomong sepuluh kata, saya tidak akan ngomong satu patah kata pun".

Oleh karena itu, jangan ambil pusing, janga dipikirin. Dale Carnegie, dalam sebuah bukunya mengisahkan tentang seekor beruang kutup yang ganas sekali, selalu main pukul, ada pohon kecil dicerabut, tumbang dan dihancurkan. Di tengah amukannya, tiba-tiba ada ada seekor binatang kecil yang lewat di depannya. Anehnya, tidak ia hantam, sehingga mungkin terlintas dalam benak si beruang ini, "Ah, apa perlunya menghantam yang kecil-kecil, yang tidak sebanding, yang tidak merugikan kepentingan kita".

Percayalah, makin mudah kita tersinggung, apalagi hanya dengan hal-hal yang sepele, akan makin sengsara hidup ini. Padahal, mau apa hidup pakai sengsara, karena justru kita harus menjadikan orang-orang yang menyakiti kita sebagai ladang amal, karena kalau tidak ada yang menghina, menganiaya, atau menyakiti, kapan kita bisa memaafkan? Nah sahabat. Justru karena ada lawan, ada yang menghina, ada yang menyakiti kita bisa memaafkan. Kalau dia masih muda, anggap saja mungkin dia belum tahu bagaimana bersikap kepada yang tua, daripada sebel kepadanya. Kalau dia masih kanak-kanak, pahami bahwa tata nilai kita dengan dia berbeda, mana mungkin kita tersinggung oleh anak kecil.

Kalau ada orang tua yang memarahi kita, jangan tersinggung, mungkin dia khilaf, karena terlalu tuanyua. Yang pasti makin kita pemaaf, makin kita berhati lapang, makin bisa memahami orang lain, maka akan makin aman dan tenteramlah hidup kita ini, subhanallah.

Yaa Allah,,,,

Yaa Allah,,,
dimanakah Q harus berlabuh,,,
disaat smua dermaga menutup pintu,,
dan berkata,,"ini bukan untukmu..."
"segera menjauh,,karna ini bukan tempatmu...!!!"

Yaa Allah,,,,
katakan padaQ,,dermaga untukQ berlabuh...
agar Q segera menghela nafas kehidupan baru,,,
Sampai kapan Q harus arungi waktu,,,
Q lelah menunggu suatu yg tak pasti meski hanya 1...

Yaa Allah,,,
beri aQ penerang jalanMu,,,
agar tak tersesat saat Q melaju,,,tetaplah disisiQ,,
jangan Engkau menjauh dariQ,,,
karna Q mati,,tanpa hadirMu...

POLIGAMI dan MONOGAMI menurut ISLAM

Sebelum masa Rosulullah saw, poligami adalah hal yang wajar dilakukan di Timur Tengah (Arab) dan beberapa negara di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.
Dalam lingkungan yang berpoligami, Rosulullah saw melakukan monogami bersama istri tunggalnxa Khadijah binti Khuwalid ra, dan itu berlangsung selama 25 tahun, dari tahun 595 M sampai 620 M (sampai Khadijah binti Khuwalid ra meninggal dunia). Saat menikah usia Rasulullah saw adalah 25 tahun sedangkan Khadijah binti Khuwalid ra berusia 40 th.

Pada masa perang, saat itu dibutuhkan perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang, sehingga turunlah surah An-Nisa' (4): ayat 3 menyatakan,

“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.”  (surah An-Nisa' (4): ayat 3)

Selain turun ayat tersebut, juga turun surah An-Nisa' (4): ayat 129 menyatakan,
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (surah An-Nisa' (4): ayat 129)

Ayat ini menegaskan bahwa sesungguhnya suami tidak akan dapat berlaku adil bila melakukan poligami, dan itu penegasan dari Allah SWT sendiri melalui ayat tersebut. Namun kenapa Allah SWT tetap membuka saluran tersebut, padahal jelas nantinya tidak dapat berlaku adil ?


Disinilah keistimewaan Agama Islam sebagai agama yang universal, karena selalu menyiapkan berbagai "saluran darurat".
Sehingga saluran poligami tetap dibuka sebagaimana surah An-Nisa ayat 3 tersebut, dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat untuk memberi perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim serta tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).
Pada tahun 620 M (tahun ke 10 kenabian Rosulullah saw) Khadijah binti Khuwalid ra meninggal dunia, dimana 3 hari sebelumnya Abi Talib (pengasuh Rasulullah saat kecil, yang juga ayah Ali bin Abi Thalib ra) meninggal dunia. Umat Islam menyebut tahun ke sepuluh kenabian Muhammad saw itu sebagai tahun kesedihan (Am al-Khuzn). Pada tahun tersebut Rasulullah juga mengalami peristiwa Isra Mikraj.
Dari perkawinan dengan Khadijah binti Khuwalid ra, Nabi saw dikaruniai dua anak laki-laki (Qasim dan Abdullah, yang dijuluki at-Tayyib dan at-Tahir) dan empat anak perempuan (Ruqayyah, Zainab, Ummu Kalsum, dan yang bungsu Fatimah). Qasim meninggal sebelum mencapai umur 2 tahun, sedangkan Abdullah meninggal dalam usia lebih muda lagi. Anak-anak Nabi saw yang masih hidup perempuan semua.

Sepintas mengenai perkawinan anak-anak Nabi Muhammad saw diuraikan berikut ini.
Zainab menikah dengan Abul As bin Rabi' bin Abdul Syams. Ruqayyah dan Ummu Kalsum masing-masing menikah dengan Utbah dan Utaibah, keduanya anak-anak Abu Lahab. Sesudah kedatangan Islam, Abu Lahab memerintahkan kedua anaknya untuk menceraikan kedua putri Muhammad saw tersebut. Tentu saja Nabi saw cukup sedih dengan kejadian ini. Nabi saw baru terhibur ketika Ruqayyah kemudian dikawini oleh Usman bin Affan, meskipun Ummu Kalsum (adik Ruqayyah) harus menjanda sampai berakhirnya Perang Badr. Setelah Ruqayyah wafat, kemudian Usman bin Affan menikah dengan Ummu Kalsum. Adapun putri bungsu Rasulullah saw, Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Talib.
Anak-anak Nabi Muhammad saw sempat mengalami kedatangan Islam dan mereka memeluk Agama Islam serta ikut hijrah ke Madinah. Kecuali Fatimah, semua anak-anaknya meninggal semasa Muhammad saw masih hidup, Fatimah sendiri meninggal 6 bulan setelah Nabi Muhammad saw wafat.

Sejak Istri Rasulullah saw, Khadijah binti Khuwalid ra wafat, Khalwah istri Usman bin Makhzum memperhatikan berbagai kebutuhan anggota keluarga Nabi saw.
Tahun 623 M (setelah 3 tahun Rasulullah saw menduda), Khalwah menganjurkan Nabi saw agar menikah lagi. Saat*itu Muhammad bertanya siapa yang harus ia nikahi ?. Khalwah menyarankan Saudah binti Zam'ah, janda Sakran Umar al-Amiri, seorang sahabat yang pernah membawanya ke Habasyah. Suami-istri Sakran-Saudah termasuk kelompok pengungsi pertama yang pulang kembali ke Mekah dari Habasya, dan Sakran meninggal tidak lama setelah itu.
Karena suaminya (Sakran) meninggal, maka Saudah tidak punya pilihan lain kecuali kembali ke keluarga setelah ditinggal mati suaminya. Keluarga Saudah belum masuk Islam, sehingga apabila Saudah kembali ke-keluarganya, maka ia akan disiksa seperti dialami orang-orang muslim lain yang tidak memiliki perlindungan. Maka Nabi Muhammad saw menyetujui usulan Khalwah untuk menikahi Saudah agar menjadi terlindungi sekaligus terbebaskan dan tidak mengalami penderitaan.

Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 108-179). Poligami yang dilakukan Nabi saw untuk melindungi sekaligus membebaskan wanita-wanita tersebut. Realitas bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Hampir seluruh Istri Nabi adalah janda yang ditinggal mati suaminya untuk dilindungi sekaligus dibebaskan, kecuali Aisyah binti Abu Bakar ra.

Dengan menelusuri kitab Jami' al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), dapat ditemukan bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu.

Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat untuk memberi perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim serta tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).

Dalam sebuah ungkapan Nabi saw menyatakan: "Barangsiapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus" (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Teks-teks hadist terkait poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Namun banyak ulama "cerdik" yang menyelewengkannya dengan hanya mengambil sepotong-sepotong teks untuk pembenaran perbuatannya atau pembenaran perbuatan beberapa orang tertentu yang berpengaruh baginya.

Nabi Muhammad saw dengan sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib ra, dan teks hadis ini jarang disampaikan sebagian ulama, padahal teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah, berikut ini.

Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Terlepas dari hukum-hukum dalam Agama Islam, kondisi jumlah laki-laki dengan perempuan saat ini cukup mengkawatirkan. Karena sejak tahun 2001, jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan, terutama di Timur Tengah dan beberapa negara asia yang "dulunya" menganggap anak laki-laki lebih berharga dibandingkan anak perempuan, serta yang "dulunya" menganggap poligami adalah hal yang lumrah. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah Allah SWT sedang menghukum (menyadarkan) sebagian masyarakat di negara-negara tersebut ? Maha Suci, Maha Adil, Maha Benar, dan Maha Mengetahui Allah SWT.

Untuk melihat data statistik jumlah penduduk (laki-laki dan perempuan) masing-masing negara di Dunia, silakan klik di bawah ini :
http://statistik.ptkpt.net (Daftar/Data Perbandingan Jumlah Laki-laki : Perempuan masing-masing negara di Seluruh Dunia)

Peran istri dalam rumah tangga

Berbicara mengenai hal ini, ayat Ar-rijalu qawammuna 'alan nisa' biasanya dijadikan sebagai salah satu rujukan, karena ayat tersebut berbicara tentang pembagian kerja antara suami-istri. Memahami pesan ayat ini, mengundang kita untuk menggarisbawahi terlebih dahulu dua butir prinsip yang melandasi hak dan kewajiban suami-istri:

1. Terdapat perbedaan antara pria dan wanita, bukan hanya pada bentuk fisik mereka, tetapi juga dalam bidang psikis. Bahkan menurut Dr. Alexis Carrel salah seorang dokter yang pernah meraih dua kali hadiah Nobel -perbedaan tersebut berkaitan juga dengan kelenjar dan darah masing-masing kelamin.
Pembagian harta, hak, dan kewajiban yang ditetapkan agama terhadap kedua jenis manusia itu didasarkan oleh perbedaan-perbedaan itu.

2. Pola pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak menjadikan salah satu pihak bebas dan tuntutan - minimal dari segi moral - untuk membantu pasangannya.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan,

Bagi lelaki (suami) terhadap mereka (wanita/istri) satu derajat (lebih tinggi).

Derajat lebih tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas dijelaskan oleh surat An-Nisa' ayat 34, yang menyatakan bahwa "lelaki (suami) adalah pemimpin terhadap perempuan (istri)."

Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan hal yang mutlak, lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama, serta merasa memiliki pasangan dan keluarga, Persoalan yang dihadapi suami-istri, muncul dari sikap jiwa manusia yang tercermin dari keceriaan atau cemberutnya wajah. Sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika, tetapi boleh juga sirna seketika dan dimana pun. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin yang melebihi kebutuhan suatu perusahaan yang sekadar bergelut dengan angka, dan bukannya dengan perasaaan serta diikat oleh perjanjian yang bisa diselesaikan melalui pengadilan.

Hak kepemimpinan menurut Al-Quran seperti yang dikutip dari ayat di atas, dibebankan kepada suami. Pembebanan itu disebabkan oleh dua hal, yaitu:

a. Adanva sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika dibandingkan dengan istri.
b. Adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota keluarganya.

Walaupun diakui dalam kenyataan terdapat istri-istri yang memiliki kemampuan berpikir dan materi melebihi kemampuan suami, tetapi semua itu merupakan kasus yang tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan suatu kaidah yang bersifat umum.

Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa pembagian kerja ini tidak membebaskan masing-masing pasangan - paling tidak dari segi kewajiban moral - untuk membantu pasangannya dalam hal yang berkaitan dengan kewajiban masing-masing. Dalam hal ini Abu Tsaur, seorang pakar hukum Islam, berpendapat bahwa seorang istri hendaknya membantu suaminya dalam segala hal. Salah satu alasan yang dikemukakannya adalah bahwa Asma, putri Khalifah Abu Bakar, menjelaskan bahwasanya ia dibantu oleh suaminya dalam mengurus rumah tangga, tetapi Asma, juga membantu suaminya antara lain dalam memelihara kuda suaminya, menyabit rumput, menanam benih di kebun, dan sebagainya.

Tentu saja di balik kewajiban suami tersebut, suami juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. Suami wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran agama dan hak pribadi sang istri. Sedemikian penting kewajiban ini, sampai-sampai Rasulullah saw bersabda, "Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seseorang, niscaya akan kuperintahkan para istri untuk sujud kepada suaminya". Bahkan Islam juga melarang seorang istri berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya.

Dapat ditambahkan bahwa Rasulullah saw menegaskan bahwa seorang istri memimpin rumah tangga dan bertanggung Jawab atas keuangan suaminya. Pertanggungjawaban tersebut terlihat dalam tugas-tugas yang harus dipenuhi, serta peran yang diembannya saat memelihara rumah tangga, baik dari segi kebersihan, keserasian tata ruang, pengaturan menu makanan, maupun pada keseimbangan anggaran. Bahkan pun istri ikut bertanggung jawab - bersama suami - untuk menciptakan ketenangan bagi seluruh anggota keluarga, misalnya, untuk tidak menerima tamu pria atau wanita yang tidak disenangi oleh sang suami.

Kesimpulannya, peranan seorang istri sebagai ibu rumah tangga adalah untuk menjadikan rumah itu sebagai sakan, yakni "tempat yang menenangkan dan menenteramkan seluruh anggotanya." Dan dalam konteks inilah Rasulullah saw menggarisbawahi sifat-sifat seorang istri yang baik yakni yang menyenangkan suami bila ia dipandang, menaati suami bila ia diperintah, dan ia memelihara diri, harta, dan anak-anaknya, bila suami jauh darinya.

Sebagai ibu, seorang istri adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, khususnya pada masa-masa balita. Memang, keibuan adalah rasa yang dimiliki oleh setiap wanita, karenanya wanita selalu mendambakan seorang anak untuk menyalurkan rasa keibuan tersebut. Mengabaikan potensi ini, berarti mengabaikan jati diri wanita. Pakar-pakar ilmu jiwa menekankan bahwa anak pada periode pertama kelahirannya sangat membutuhkan kehadiran ibu-bapaknya. Anak yang merasa kehilangan perhatian (misalnya dengan kelahiran adiknya) atau rnerasa diperlakukan tidak wajar, dengan dalih apa pun, dapat mengalami ketimpangan kepribadian.

Rasulullah saw pernah menegur seorang ibu yang merenggut anaknya secara kasar dari pangkuan Rasulullah, karena sang anak pipis, sehingga membasahi pakaian Rasul. Rasulullah bersabda,

"Jangan engkau menghentikan pipisnya. (Pakaian) ini dapat dibersihkan dengan air tetapi apakah yang dapat menghilangkan kekeruhan dalam jiwa anak ini (akibat perlakuan kasar itu)?

Para ilmuwan juga berpendapat bahwa, sebagian besar kompleks kejiwaan yang dialami oleh orang dewasa adalah akibat dampak negatif dari perlakuan yang dialaminya waktu kecil.

Oleh karena itu, dalam rumah tangga dibutuhkan seorang penanggung jawab utama terhadap perkembangan jiwa dan mental anak, khususnya saat usia dini (balita). Disini pula agama menoleh kepada ibu, yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki sang ayah, bahkan tidak dimiliki oleh wanita-wanita selain ibu seorang anak.

Sholat berjama'ah bagi wanita

Shalat berjama'ah di masjid wajib hukumnya, dimana keterangan masalah ini nampak sekilas bahwa shalat jama'ah seakan-akan diwajibkan bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Padahal tidaklah demikian, karena di dalamnya terdapat beberapa perkecualian dan kekhususan. Di antara kekhususan itu adalah tidak diwajibkannya shalat berjama'ah bagi wanita. Hal itu sesuai dengan Ijma' (kesepakatan) Ulama. Adapun dibolehkannya mereka ikut serta dalam shalat berjama'ah, bukan berarti merupakan kewajiban bagi mereka sebagaimana yang telah dikatakan oleh Abu Muhammad bin Hazm : "Adapun bagi wanita maka hukum menghadiri shalat berjama'ah adalah tidak wajib. Dalam perkara ini tidak terdapat ikhtilaf di antara para ulama."(Lihat Al Muhalla 4:196)
Sebaliknya wanita dianjurkan untuk shalat di rumahnya karena fadhilah (keutamaan)nya lebih besar dibandingkan dengan shalat berjama'ah di masjid. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepada seorang wanita :
"Shalat di kamarmu lebih utama daripada shalat di rumahmu. Shalat di rumahmu lebih utama daripada shalat di masjid kaummu" (HR. Ibnu Khuzaimah)
Hadits tersebut tidak bertentangan dengan hadits yang berbunyi:
"Shalat di masjidku lebih utama seribu shalat dibandingkan dengan shalat di masjid-masjid yang lainnya" (HR. Muslim)
Berkata Syaikh Al Albani : "Hadits ini tidak menafikan bahwa shalat-shalat mereka (para wanita) di rumahnya lebih utama bagi mereka, sebagaimana tidak dinafikannya pula keutamaan shalat sunnah di rumah bagi laki-laki dibandingkan jika dilakukan di masjid. Akan tetapi jika dia (laki-laki) shalat fardhu di salah satu masjid yang tiga (Mekah, Madinah dan Aqsha), maka mereka mendapat keutamaan-keutamaan dan kekhususan-kekhususan dibandingkan shalat di masjid-masjid lainnya, demikian pula halnya bagi wanita."
(Lihat Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah :156)
Di hadits lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian (untuk pergi ke) masjid dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka" (HR. Ibnu Khuzaimah)
Berkata Imam Asy Syaukani ketika menjelaskan lafadz "Rumah-rumah mereka lebih utama bagi mereka", maksudnya adalah "Shalat-shalat mereka (wanita) di rumahnya itu lebih utama bagi mereka dibandingkan dengan shalatnya di masjid. Jika mereka mengetahui yang demikian (pastilah mereka tidak meminta untuk keluar ke masjid). Akan tetapi karena mereka tidak mengetahuinya, maka mereka (shahabiyah) meminta izin untuk keluar ke masjid dengan berkeyakinan bahwa pahalanya lebih banyak daripada shalat di rumahnya"
(Lihat Nailul Authar 3:131).
Dari riwayat-riwayat di atas, para ulama mengambil istimbat hukum bahwa shalat wanita di dalam rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid. Walaupun demikian mungkin akan timbul dalam benak kita suatu pertanyaan: "Manakah yang lebih utama, wanita shalat di rumahnya dengan berjama'ah atau shalat sendiri. Dan apakah shalat jama'ahnya akan mendapatkan seperti apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam (yakni lebih utama 27 derajat)?" Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu kita melihat syarah hadits "Shalat berjama'ah lebih utama dibandingkan shalat sendiri dengan dua puluh lima (dalam riwayat lain dengan dua puluh tujuh) derajat. " Apakah hadits tersebut bersifat umum bagi laki-laki dan wanita?"
Syaikh Al Albani mengomentari hadits 'Aisyah dan Ummu Salamah yang mengimami para wanita dalam shalat dengan perkataan beliau sebagai berikut : "Atsar-atsar ini baik untuk diamalkan, lebih-lebih jika dihubungkan dengan keumuman sabda Rasulullah bahwa para wanita itu serupa lelaki '. Namun penyamaan ini dalam hal berjama'ah bukan dalam keutamaan yang dua puluh lima atau dua puluh tujuh derajat."
Dari keterangan di atas, maka keutamaan dua puluh lima dan dua puluh tujuh derajat itu khusus untuk shalat jama'ah yang dilakukan di masjid, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu: "Bahkan yang paling jelas adalah bahwa derajat yang disebutkan itu khusus bagi jama'ah di masjid" (Lihat Fathul Bari 2:159).
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang artinya: "Shalat seorang dengan berjama'ah dilipat gandakan atas shalatnva di rumahnya dan di pasar dengan dua puluh lima lipat. Hal ini dia peroleh apabila ia berwudlu lalu menyempurnakan wudhunya kemudian keluar menuju masjid. Tidak mengeluarkannya kecuali untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkahkan satu langkah, kecuali diangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu kesalahan dan tatkala dia shalat para malaikat terus menerus mengucapkan shalawat atasnya selama dia di tempat shalatya dengan doa: 'Ya Allah, berilah shalawat atasnya, rahmatilah dia. Senantiasa salah seorang di antara kalian dalam keadaan shalat selama menunggu shalat" " (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian maka shalat jama'ah wanita di rumahnya tidak termasuk dalam keutamaan itu (dua puluh lima atau dua puluh tujuh derajat), tetapi mereka mempunyai keutamaan tersendiri baik dia shalat di rumahnya dengan berjama'ah atau tidak berjama'ah hal ini lebih utama dari pada shalatnya di masjid. -Wallahu a 'lam bishawab-
Adab-adab Wanita Ke Masjid

Keutamaan shalat wanita di dalam rumahnya sebagaimana telah dijelaskan di atas tidak menafikan bolehnya para wanita shalat berjama'ah di masjid, bahkan wali atau suami tidak boleh melarang mereka jika hendak shalat berjama'ah di masjid, tentunya dengan beberapa syarat.
Telah menjadi ijma' (kesepakatan) para ulama bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak mencegah sama sekali para wanita untuk shalat berjama'ah di masjid bersama beliau sampai wafatnya. Demikian pula para Khulafa' Rasyidin sesudah beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Apabila salah satu wanita di antara kalian meminta izin ke masjid, maka janganlah kalian cegah mereka". (HR Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Umar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Janganlah kalian melarang hamba (para wanita) Allah ke masjid-masjid Allah" (HR. Bukhari)
Menyoroti hadits-hadits di atas, Imam Nawawi berkata: "Hadits ini dan yang semisalnya (menjelaskan) dengan jelas sekali bahwa wanita tidak dilarang pergi ke masjid. Akan tetapi dengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh para ulama' yang diambil dari hadits-hadits yaitu: Tidak memakai wangi-wangian, tidak tabarruj, tidak memakai gelang kaki yang dapat terdengar suaranya, tidak memakai baju yang mewah, tidak berikhtilat dengan kaum laki-laki dan bukan gadis yang dengannya dapat menimbulkan fitnah, tidak terdapat sesuatu yang dapat menimbulkan bahaya di jalan yang akan dilewati. Apabila dia mempunyai suami atau tuan dan terpenuhi syarat-syarat yang disebutkan tadi, maka dimakruhkan malarang mereka ke masjid. Namun jika dia belum/tidak mempunyai suami atau tuan, maka diharamkan melarang mereka ke masjid apabila terpenuhi syarat-syarat di atas". (Lihat Syarh Shahih Muslim 4:382-383).
Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz : "Tidak diperbolehkan bagi sang suami untuk mencegah istrinya yang hendak ke masjid, namun shalatnya (istri) lebih utama di rumahnya dan wajib atasnya menjaga adab-adab Islam yaitu mengenakan pakaian yang menutupi auratya, menjauhi pakaian-pakaian yang tipis dan pakaian yang menampakkan lekuk tubuhnya karena sempit, tidak memakai wangi-wangi, tidak ikhtilat dengan laki-laki lain pada shaf mereka namun di belakang shaf mereka. Sungguh telah ada wanita-wanita pada zaman RasuluIlah Shallallahu 'alaihi wa Sallam keluar ke masjid dengan mengenakan jilbab-jilbab dan shalat di belakang kaum laki-laki". (Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al 'Ilmiyah Wal Ifta 7:336)
Inilah syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama yang disyari'atkan kepada para wanita yang ingin ke masjid. Syarat-syarat ini diambil dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam,
-Wallahu A 'lam bis shawab-
Sholat Berjama'ah Bagi Wanita
Apabila kaum wanita melaksanakan shalat berjama'ah yang diimami oleh seorang wanita maka sebagian ulama memandang baik, hal ini berdasarkan beberapa riwayat diantaranya riwayat dari Raithah Al Hanafiyah :
"Bahwasanya Aisyah pernah mengimami wanita-wanita pada salah satu shalat wajib, dan beliau berdiri di antara mereka" (SR. Daraquthni)
Diriwayatkan dari Ummu Salamah
"Bahwasanya beliau (Ummu Salamah, istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam) mengimami para wanita; beliau berdiri di tengah (shaf)" (SR. Abdur Razzaq dan Al Baihaqi)
Berkata Syekh Jibrin :"Ada pun shalat berjama'ah bagi wanita maka hal tersebut tidak mengapa dan bagi wanita yang memimpin shalat tersebut berdiri di shaf ma'mum, namun mereka tidak mendapatkan keutamaan shalat berjama'ah sebagaimana yang diperoleh oleh kaum laki-laki yang melaksanakan di masjid, dan tidak dibenarkan bagi seorang laki-laki untuk meninggalkan shalat berjama'ah di masjid dengan alasan akan melaksanakannya secara berjama'ah di rumahnya bersama-sama dengan keluarga atau kaum wanita karena mendatangi masjid untuk melaksanakan shalat fardhu adalah wajib bagi laki-laki"*(Lihat Fatawa Islamiyah 1:363)
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada seluruh kaum muslimin dan muslimat.
-Abu Abdirrahman-
Maraji':
1. Jaami' Ahkami An Nisaa', Musthafa Al-Adawi.
2. Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al 'Ilmiyah Wal Ifta
(Al Fikrah Tahun 2 Edisi 20)

Aa yang harus di syukuri..??

Pada dasarnya segala nikmat yang diperoleh manusia harus disyukurinya. Nikmat diartikan oleh sementara ulama sebagai "segala sesuatu yang berlebih dari modal Anda". Adakah manusia memiliki sesuatu sebagai modal? Jawabannya, "Tidak". Bukankah hidupnya sendiri adalah anugerah dari Allah?

"Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?" (QS Al-Insan [76]: ayat 1).

Nikmat Allah demikian berlimpah ruah, sehingga Al-Quran menyatakan,

"Seandainya kamu (akan) menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya" (QS Ibrahim [14]: 34).

Al-Biqa'i dalam tafsirnya terhadap surat Al-Fatihah mengemukakan bahwa "al-hamdulillah" dalam surat Al-Fatihah menggambarkan segala anugerah Tuhan yang dapat dinikmati oleh makhluk, khususnya manusia. Itulah sebabnya --tulisnya lebih jauh-- empat surat lain yang juga dimulai dengan al-hamdulillah masing-masing menggambarkan kelompok nikmat Tuhan, sekaligus merupakan perincian dari kandungan nikmat yang dicakup oleh kalimat al-hamdulillah dalam surat Al-Fatihah itu. Karena Al-Fatihah adalah induk Al-Quran dan kandungan ayat-ayatnya dirinci oleh ayat-ayat lain.

Keempat surat yang dimaksud adalah:

1. Al-An'am (surat ke-6) yang dimulai dengan: "Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang".

Ayat ini mengisyaratkan nikmat wujud di dunia ini dengan segala potensi yang dianugerahkan Allah baik di darat, laut, maupun udara, serta gelap dan terang.

2. Al-Kahf (surat ke-18), yang dimulai dengan: "Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Quran), dan tidak membuat kebengkokan (kekurangan) di dalamnya".

Di sini diisyaratkan nikmat-nikmat pemeliharaan Tuhan yang dianugerahkannya secara aktual di dunia ini. Disebut pula nikmat-Nya yang terbesar yaitu kehadiran Al-Quran di tengah-tengah umat manusia, untuk "mewakili" nikmat-nikmat pemeliharaan lainnya.

3. Saba' (surat ke-34), yang dimulai dengan "Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bagi-Nya pula segala puji di akhirat. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetabui".

Ayat ini mengisyaratkan nikmat Tuhan di akhirat kelak, yakni kehidupan baru setelah mengalami kematian di dunia, di mana dengan kehadirannya di sana manusia dapat memperoleh kenikmatan abadi.

4. Fathir (surat ke-35), yang dimulai dengan: "Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan untuk mengurus berbagai macam urusan (di dunia dan di akhirat), yang mempunyai sayap masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat".

Ayat ini adalah isyarat tentang nikmat-nikmat abadi yang akan dianugerahkan Allah kelak setelah mengalami hidup baru di akhirat.

Setiap rincian yang terdapat dalam keempat kelompok nikmat yang dicakup oleh keempat surat di atas, menuntut syukur hamba-Nya baik dalam bentuk ucapan al-hamdulillah, maupun pengakuan secara tulus dari lubuk hati, serta mengamalkan perbuatan yang diridhai-Nya.

Di atas dikemukakan secara global nikmat-nikmat-Nya yang mengharuskan adanya syukur. Dalam beberapa ayat lainnya disebut sekian banyak nikmat secara eksplisit, antara lain:

1. Kehidupan dan kematian

"Bagaimana kamu mengkufuri (tidak mensyukuri nikmat) Allah, padahal tadinya kamu tiada, lalu kamu dihidupkan, kemudian kamu dimatikan, lalu dihidupkan kembali." (QS Al-Baqarah [2]: 28).

2. Hidayat Allah

"Hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur" (QS Al-Baqarah [2]: 185).

3. Pengampunan-Nya, antara lain dalam firman-Nya.

"Kemudian setelah itu Kami maafkan kesalahanmu agar kamu bersyukur" (QS Al-Baqarah [2]: 52)

4. Pancaindera dan akal

"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati, supaya kamu bersyukur" (QS An-Nahl [16]: 78).

5. Rezeki

"Dan diberinya kamu rezeki yang baik-baik agar kamu bersyukur" (QS Al-Anfal [8]: 26).

6. Sarana dan prasarana antara lain

"Dan Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daging (ikan) yang segar darinya, dan kamu mengeluarkan dan lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dan karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur" (QS An-Nahl [16]: 14) .

7. Kemerdekaan

"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kamu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikannya kamu orang-orang yang merdeka (bebas dari penindasan Fir'aun)" (QS Al-Maidah [5]: 20)

Masih banyak lagi nikmat-nikmat lain yang secara eksplisit disebut oleh Al-Quran. Dalam surat Ar-Rahman (surat ke-55), Al-Quran membicarakan aneka nikmat Allah dalam kehidupan dunia ini dan kehidupan akhirat kelak. Hampir pada setiap dua nikmat yang disebutkan. Quran mengulangi satu pertanyaan dengan redaksi yang sama yaitu,

"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu ingkari?"

Pertanyaan tersebut terulang sebanyak tiga puluh satu kali. Para ulama menyusun semacam "rumus", yaitu siapa yang mampu mensyukuri nikmat-nikmat Allah, maka ia akan selamat dari ketujuh pintu neraka, sekaligus dia dapat memilih pintu-pintu mana saja dari kedelapan pintu surga, baik surga pertama maupun surga kedua, baik Surga (kenikmatan duniawi) maupun kenikmatan ukhrawi.

Rabu, 23 Mei 2012

“Karena Aku Cemburu….. “

Entah kenapa,,tiap kali melihatmu…. Selalu saja ada gerimis di hati…
Ya… entah tak bisa kusebut lagi,,perasaan macam apa ini?
Tak tahukah… bahwa sudah begitu banyak ilmu yang kuambil darimu….

Bahkan semakin banyak aku belajar darimu,,semakin aku merasa tak cukup,,aku tak mampu
untuk menggapaimu….
Karena… kau terlalu indah bagiku….
Kau terlalu sempurna di mataku….

Suatu ketika aku merasakan ada yang aneh dalam diriku namun entahlah aku tak tahu apa itu..
Yang aku rasa aku hanya takut,,takut dan takut…
Dan kini,,aku semakin tertunduk dalam-dalam….
Mencoba,,menerka isi hati…
Ternyata aku mencintaimu,,aku terserang virus-virus merah jambu…

Aku cemburu ketika aku hanya tahu,,
Menyaksikan semua yang ada padamu,,kedekatanmu dengan_Nya...
Hatiku begitu sakit,,seakan ada kupu-kupu menari diperutku,,ada yang menjebol paksa tanggul sungai air mataku,,aku sakit,,tersiksa,,aku cemburu,,karenamu…

hmmm…
Kini aku menyadari …
Dan kini,,aku semakin tertunduk dalam-dalam….
Aku kembali Mencoba,,menerka isi hati…
Mendadak aku semakin pilu… tergugu dalam kesendirianku…

Dan seketika itu pun aku mendapatkan sebuah nasehat,

CEMBURU adalah ketika engkau melihat orang alim yang berilmu,,sdgkan engkau blm bisa mencapai ilmu sang alim itu.

CEMBURU adalah ketika kau melihat sahabatmu sudah khatam al qur’an,,sdgkan engkau hanya khatam Juz Amma.

CEMBURU adalah ketika kau menyaksikan saudara2mu berlomba2 menuntut ilmu,,sdgkan engkau sibuk menonton sinetron dirumah.

CEMBURU adalah ketika kau belm bisa mencapai keluhuran dan kemuliaan sebagaimana hamba2 Allah yang lain telah mencapainya.

CEMBURU adalah ketika si dia yang kau cintai mengalahkanmu dlm kedekatan dan penghambaan diri kepada Tuhan.

CEMBURU adalah ketika kau melihat sahabat2mu saling berkirim sms cinta di 1/3 malam,,sdgkan engkau lebih memilih mendengkur di dlm selimut.

CEMBURU adalah penjagaanmu terhadap dia yang kau cintai agar dirinya selalu brusaha untuk mendekati Tuhan.

Astaghfirullah Adakah Allah dalam tiap langkah kakiku… adakah Allah dalam tiap pandangan mataku… adakah Allah dalam tiap ucap lisanku…. adakah Allah dalam tiap ikhtiarku di jalan ini….

Astaghfirullah …
Sungguh… betapa aku tak bisa…
Berkata-kata lagi.. aku cemburu padamu,
Tapi aku tak pernah sadar bahwa ada yang lebih cemburu,, 

Dia cemburu jika aku seperti itu…

Kini cemburuku bukan kepadamu lagi akhii,,,
Aku gantikan kata cemburuku,,cemburu yang pantas …
Aku cemburu pada mereka wanita Sholehah yang selalu menghiasi dunia …

Kini akan ku buktikan BUKAN AKU YANG HARUS CEMBURU PADA BIDADARI,,TAPI BIDADARI YANG HARUS CEMBURU PADAKU ..InsyaAllah ^_^

Karena aku juga cemburu,..
karena akhlaq para shahabiyah yang kini telah menawan hatiku…
Sungguh kini…. aku benar-benar CEMBURU . . . . .

C.E.M.B.U.R.U padamu ukhty,,,
pada Ukhti Sholehah karena akhlaqmu yang begitu menawan itu 

Karena itu Aku Cemburu…


Mencintaimu karena Allah...

Bismillaah

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.....
salam ukhuwah.... ^^